Selasa, 19 Mei 2015

Kunci Hidup Bahagia



Hai kawan semua apa kabar?? Semoga dalam keadaan sehat selalu. Oke kawan sekalian dalam artikel ini saya akan sedikit membahas



Kunci Hidup Bahagia

Hidup tidak bahagia sebenarnya berasal dari pikiran yang sakit. Arti sakit menurut saya adalah ketika pikiran tidak bisa membedakan antara baik dan buruk. Bila pikiran samasekali sudah tidak bisa membedakan hal yang saya sebutkan tadi. Atau mungkin saya tambahkan sedikit tentang orang yang sakit jiwa hehe. Jiwanya yang sakit atau pikirannya? Sedikit bingung untuk menterjemahkan “sakit jiwa”. Perasaan jiwa itu tidak pernah sakit dech. Mengulang yang tadi ketika pikiran sudah tidak bisa membedakan antara baik dan buruk. Itu menunjukkan bahwa pikiran sudah sakit kronis. Hal yang lain penyebab pikiran sakit adalah terlalu capek karena diekspolitasi untuk bekerja keras. Bukan dalam artian bahwa pikiran itu disuruh mencangkul atau disuruh membajak ya hehehe!. Seperti halnya sepeda motor ketika mesin sudah mencapai titik panas tertentu karena terus digenjot untuk menempuh perjalanan jauh, maka akan berhenti sendiri. Hal itu disebabkan karena kapasitas mesin melebihi normal. Tentu hal itu penyebab mesin itu cepat rusak. Saya bisa bilang bahwa analoginya pikiran itu seperti mesin.
Kunci hidup bahagia itu sebenarnya sederhana. Sebelumnya akan saya berikan contoh penyebab kesemrautan hidup ini atau lebih tepatnya antagonis dari hidup bahagia. Sesuatu yang dibeli secara terburu-buru. Kredit barang disana-sini. Manusia yang tidak menerima kodrat dan menyalahi aturan hukum universal juga penyebab hidup tidak bahagia. Eksploitasi baik SDM maupun SDA yang berlebihan adalah basis dari kekacauan dunia. Modernisasi secara fisik tepatnya mungkin yang saya bisa gambarkan untuk keadaan ini. Hal lain yang sifatnya membangun jiwa atau modernisasi kedalam itu sangat kurang. Oke saya kasih tahu satu kunci hidupbahagia. Yaitu selalu bersyukur dalam keadaan apapun itu. Entah itu sesuatu yang membuat pikiran itu senang untuk sementara ataupun duka yang membuat pikiran kacau dalam sesaat. Keadaan pikiran yang damai dapat diperoleh dengan jalan Yoga, Meditasi, Olah Raga secara teratur untuk menjaga keseimbangan tubuh. Makan makanan yang sehat.
Kunci hidup bahagia yaitu ketika kebutuhan lahiriah dan rohaniah seimbang. Contoh yang lain ketika kita ditempatkan pada masalah yang pelik. Disana kita dijuji untuk memposisikan pikiran agar tetap tenang dan disisi lain mencari solusi untuk pemecahan masalah yang sedang dihadapi tersebut. Melalui intelektual dan pembelajaran yang diperoleh dibangku sekolah maka saat itulah peran ilmu yang kita miliki untuk menuntaskan masalah. Sedangkan kebutuhan rohaniah yaitu kebutuhan yang senantiasa untuk mengembangkan budhi,jiwa sehingga lebih sadar bahwa hidup ini tidak sekedar makan, mengumpulkan kekayaan,memiliki keturunan, mencapai ketenaran dll. Oke kawan Evolusi roh atau jiwa akan kita bahas di lain kesempatan pada artikel yang lain pula. Sekian dan terimaksih kawan sudah berkunjung ke blog saya.

Senin, 18 Mei 2015

Antara Balian dan Dokter.

dokter
Balian

Mari kita membahas antara balian dan dokter. Balian adalah nama lain dari dukun, Tapakan atau Jro Dasaran . yang dimaksudkan Balian disini adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengobati orang sakit. Yang memiliki kepercayaan dari orang tertentu atau golongan bahwa orang tersebut memang memiliki dasar-dasar/Ilmu  dalam mengobati penyakit. Adapun kemampuan tersebut diperoleh dari berbagai cara. Adapaun cara yang saya maksudkan adalah melalui tradisi, turun temurun,taksu, belajar secara otodidak atau belajar dari Guru/Nabe. Balian tidaklah mendapat sertifikat atau Ijasah yang menyatakan bahwa mereka itu Balian. Jadi tidak ada istilah Ikatan Balian Indonesia hehehe. Seperti halnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
Di Bali Balian sudah terkenal sejak dulu kala hehe. Tahunnya saya tidak persis tahu ya, jangan menntut sama saya ya,,! Silakan cari informasi yang lebih kalau mau tahu lebih dalam. Saya hanya memberikan informasi yang sekedar untuk teman sekalian. Dalam dunia medical menurut Balian ada hal yang harus menjadi patokan dalam mengobati penyakit. Intinya tidak boleh sembarangan dalam mengobati penyakit.
Berbeda halnya dengan Dokter, Bidan, Perawat yang mempunyai pengetahuan untuk mengobati orang sakit melalui proses belajar yang didapatkan dari bangku sekolah. Mereka menempuh pendidikan formal untuk memperoleh gelar atau kemampuan khusus untuk mengobati orang sakit.
Berdasarkan kreteria Balian dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.       Berdasarkan tujuan yaitu dapat dibedakan yaitu: (1) Balian Panengen dan Balian Pangiwa (2)
2.       Berdasarkan cara memperoleh keahliannya yaitu dapat dibedakan sebagai berikut
1.       Balian Ketakson
2.       Balian Kapican
3.       Balian Usada
4.       Balian Campuran
Balian dandokter. Peranan dari kedua yang saya sebutkan tersebut penting. Balian dalam dunia pengobatan di Bali masih kental walaupun tidak sekental jaman duloe hehe. Bisa teman lihat perbedaannya sendiri antara banyaknya pasien yang pergi keBalian vs pergi ke formal medical. Seperti halnya Dokter, RSU, Bidan dll. Teman bisa hitung dengan jari dech..!! Apa yang menjadi perbedaan dalam jumlah pasien yang hadir ke Non formal medical alias Balian dan formal medical/ dokter. Silakan teman sekalian observasi dan analisa sendiri untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam ya hehehe! Tinjauan penting tersebut akan memebrikan masukan,kritik dan saran untuk pelayanan yang lebih baik terhadap pasien dari kedua belah pihak baik Balian dan Dokter. Sebelum saya mengakhiri artikel ini adal yang saya ingin sampaikan tentang kesehatan “ Kesehatan lebih penting dari segalanya”. Mengenai kreteria Balian yang saya sebutkan diatas akan saya bahas dilain kesempatan. Salam dan terimaksih...

Rabu, 06 Mei 2015

aliando syarief dan prilly latuconsina






aliando syarief dan prilly latuconsina

AgniHotra



             

Pemahaman api sebagai lambang manifestasi Deva Agni dalam upacara Agnihotra pada Sai Study Group Kabupaten Bangli memiliki fungsi sebagai berikut :
  1. Sebagai inti Yajna
  2. Sebagai perantara pemuja dengan yang dipuja
  3. Sebagai penyucian
  4. Sebagai penerang
  5. Sebagai sumber energy

4.3.1 Agnihotra sebagai inti Yajna
            Upacara Agnihotra disebut sebagai inti Yajna ditinjau dari fungsi Deva Agni atau unsur api yang tidak dapat dilepaskan dari upacara Agnihotra itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam Rgveda Mandala satu (I), Sukta satu (I), Mantra satu (1) yang berbunyi :
            Om Agni mile purohitam
            Yajnasya devam rtvijam
            Hotaram ratnadhatanam
Artinya :
            Oh Deva Agni, Engkau sebagai pendeta utama, dewa pelaksana upacara Yajna kami memuja-Mu, Engkau pemberi anugerah berupa kekayaan yang utama.
            Mantra di atas mengandung makna bahwa Deva Agni merupakan pemimpin atau pendeta utama dalam suatu penyelenggaraan Yajna, maka dapat disimpulkan bahwa tanpa Dewa Agni semua upacara persembahan akan menjadi sia-sia. Lebih ditegaskan lagi bahwa Dewa Agni sekaligus berfungsi sebagai pelaksana yadnya, hal ini semakin memperkuat bahwa Agni menjadi pokok upacara persembahan. Pada pelaksanaan upacara Agnihotra, semua persembahan dituangkan langsung ke dalam api yang diumpamakan sebagai lidahnya Manusia Kosmos (Tuhan) dalam kitab Purana dan Upanisad, sehingga apapun yang dipersembahkan dalam upacara Agnihotra langsung ditujukan pada Tuhan itu sendiri.
            Selain itu, Yajna yang dimaksud disini juga tidak selalu identik dengan pelaksanaan ritual-titual dengan sarana upacara upakara saja. Seperti yang dikutip dari makalah Drs. I Ketut Donder, M.Ag pada acara seminar Agnihotra, tanggal 18 Oktober 2008 :
Agama Hindu tidak bisa lepas dengan ritus (ritual), bahkan agama Hindu sangat kental dengan julukan sebagai agama Ritus atau agama Ritual. Julukan itu tidak buruk, malah lebih baik daripada julukan agama Politik atau agama kaku. Sepintas bagi sebagian penganut Hindu, terutama yang baru sedikit memahami hakekat ritus mungkin marah mendengar julukan agama Hindu sebagai agama Ritual atau agama Upacara. Namun bila ditelusuri secara lebih jauh tentang hakikat ritual, dan hakikat ajaran agama Hindu yang bersumber dari Veda yang terdiri dari empat Veda, yaitu; Rgveda (doa), Samaveda (nyanyian), Yajurveda (korban), dan Atharvaveda (fenomena) semua itu sesungguhnya berintikan ritus dalam pengertian persembahan kepada Tuhan (Esensi Tuhan). Doa sesungguhnya ritual, menyanyikan nama Tuhan juga adalah ritual, korban suci adalah ritual, pembuktian energy semesta yang berpusat pada Tuhan juga ritual, seluruh tindakan adalah ritual (Bhagavadgita IX.27). Bahkan pelaksanaan seminar bagi para intelektual sesungguhnya adalah ritual akademik (Donder,2008:3).

Dari kutipan di atas, seluruh tindakan manusia adalah ritual yang dipersembahkan kepada Tuhan. pada pengertian ini, pengamalan dharma juga merupakan suatu bentuk Yajna yang dapat dilakukan oleh manusia. Seperti yang disebutkan dalam Lontar Wrehaspati Tattwa 25 :
Sila yajnâm tapo danam prabâya bhiksu revaca
Yogascapi savasena dharmasyeka vinirmayah//
Dharma ngaranya : sila ngaraning mangaraksa acara rahayu, yajna ngaraning manghadaken homa, tapa ngaranya umati indriyanya, tan wineh ring wisanya, dana ngaranya wineh, pravrjya ngaraning wiku anasaka, bhiksu ngaraning diksita, yoga ngaraning magawe Samadhi, nihan pratyekaning dharma ngaranya nihan tang jnanan ngaranya (25)

Terjemahan :
Pelaksanaan Dharma meliputi : (Sila melaksanakan tingkah laku yang baik, yajna berarti melaksanakan upacara Homa (Agnihotra). Tapa berarti mengendalikan indria, tidak terikat kepada obyeknya. Dana berarti memberi (pemberian sesuatu kepada yang memerlukan). Pravrja berarti pandita yang melakukan puasa (pertapaan), Bhiksu berarti yang melaksanakan dwijati, yang menjadi pandita. Yoga berarti melaksanakan meditasi. Demikianlah bentuk realisasi pengamalan dharma) (Aripta,2007:5-6).

Dari kedua sumber di atas, kembali diingatkan fungsi Agnihotra sebagai inti yajna. Selain sebagai ritual yang tidak bisa terlepas dari api/Deva Agni yang merupakan pemimpin atau pendeta utama dalam suatu penyelenggaraan Yajna dan sebagai pelaksana yadnya, upacara Agnihotra juga merupakan salah satu bentuk realisasi pengamalan dharma yang merupakan yajna utama dalam kehidupan sehari-hari.
4.3.2 Agnihotra sebagai perantara pemuja dengan yang dipuja
            Setiap manusia khususnya umat beragama memiliki tingkat spirtualitas yang berbeda satu dengan yang lain. Bagi orang yang memiliki tingkat Jnana dan Wijnana yang tinggi, mungkin tidak memerlukan sarana sebagai perantara dalam memuja Tuhan. Namun pada umumya simbol-simbol dan sarana-sarana perantara masih banyak ditemui dan tidak mudah untuk ditiadakan.
            Api (Deva Agni) khususnya dalam Upacara Agnihotra memiliki posisi sebagai perantara untuk menghadirkan para Deva yang dipuja oleh umat. Hal ini dapat dilihat dalam mantra Regveda sebagai berikut :
            Agnih purvebhir rsibbhir
            Idhayo nutanair uta
            Sa devam cha vaksati             
                                    (Rgveda 1. 1.2)
Artinya :
            Oh Deva Agni, Engkau dipuja oleh para maharsi utama di masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Semoga Engkau menghadirkan para Deva di tempat upacara ini.
            Api atau Deva Agni merupakan Deva yang dipuja oleh para Maharsi dengan tujuan untuk menghadirkan para Deva ke tempat pelaksanaan upacara Yajna. Api/Deva Agni dianggap mampu untuk menghadirkan para Deva tersebut. Inilah mengapa api/Deva Agni disebut sebagai perantara pemuja dengan yang dipuja. Jika di Sekala-kan, api/Deva Agni memiliki kedudukan seperti Pendeta, yang menjadi perantara umat dengan Tuhan-nya. Oleh karena itu, Pendeta yang memimpin upacara dianggap sebagai perwujudan Siwa Raditya. Pendeta pada saat itu menghidupkan api jnana-nya melalui ekspresi mantra Astra dhupa dipa mantra. Adapun yang mantra-nya adalah sebagai berikut :
            Om ang dhupa dipa astray namah
Terjemahan :
            Sembah sujud kepada Tuhan, Brahma dhupa dan dipa.
            Selain itu, ditekankan juga bahwa upacara Agnihotra sebenarnya belum pernah padam, tetapi mengerdil atau menyusut dalam bentuk pedupaan atau pasepan, tetapi kedudukan dan peranannya sangat penting dalam setiap upacara, sebagai perantara penyembah dengan Tuhan atau Dewa-Dewa.
4.3.3 Agnihotra sebagai penyucian
            Kesucian merupakan tujuan dari semua agama, baik itu kesucian secara lahir maupun batin, yang juga merupakan salah satu upaya untuk menngkatkan kwalitas spiritual. Kesucian tidak bisa datang sendiri, namun setiap manusia harus berusaha dan berbuat untuk memperoleh kesucian itu.
            Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperoleh kesucian itu. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan upacara Agnihotra. Upacara Agnihotra dapat digunakan untuk membersihkan diri secara mental spiritual seperti yang dinyatakan di dalam lontar Silakrama, sloka 41 sebagai berikut:
            Suddha ngarannya enjing-enjing madyus asuddha sarira, masurya sevana, amuja, majapa, mahoma.
Terjemahan:
Suci namanya setiap hari membersihkan diri, memuja Surya, berbakti, berjapa, mahoma (Agnihotra)
                                                (Jendra dan Titib, 1999:48)
            Fungsi Agnihotra untuk menyucikan juga dinyatakan dalam Kekawin Ramayana Sarga I.25 sebagai berikut:
            Lumekas ta sira mahoma
Pretaadi pisaca raksasa minantra
Bhuta kabeh inilagaken
Asing mamigna rikang yajna
Terjemahan :
Mulailah Beliau (Raja Dasaratha) melakukan Homa (Agnihotra)
Roh jahat dan sebagainy, picasa dan raksasa dimantrai
Bhuta kala diusir semua
Segala yang mengganggu upacara korban dilenyapkan.
            Dari kedua sloka di atas, dapat dipahami bahwa upacara Agnihotra memiliki tujuan untuk penyucian, baik itu untuk penyucian diri (batin, pikiran), maupun untuk penyucian lahir (lingkungan).
4.3.4 Agnihotra sebagai penerangan
            Fungsi upacara Agnihotra sebagai penerangan dapat dilihat secara nyata dengan pemahaman bahwa api merupakan salah satu sumber cahaya. Cahaya atau sinar merupakan salah satu factor yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Dengan cahaya manusia dapat melihat. Benda-benda di sekeliling manusia manusia memantulkan cahaya dan ditangkap oleh mata manusia sehingga manusia dapat melihat benda-benda tersebut.
            Dalam prosesi upacara Agnihotra dilakukan antara lain dengan mempersembahkan “kayu bakar/samidha”, kayu bakar merupakan symbol kebodohan. Kayu ini sebagai symbol pikiran bodoh dibakar oleh api sebagai symbol Deva Agni, sebagaimana salah satu sifat Agni adalah dharmanya membakar/melalap apa saja yang ada didepannya (Sarvabhaksa) lalu membuatnya berubah menjadi partikel-partikel pembentuknya dibawa ke atas bersama asap dan yang tersisa hanyalah abu di dalam kunda, yang mana kunda merupakan lambang kesadaran itu sendiri (Suja dalam Asri,2008:121).
            Dalam Kitab suci Bhagavadgita disebutkan :
            Yathaihāmsi samiddho’gnir
Bhasma-sāt kurute ‘ rjuna
Jñānāgnih sarva karmāni
Bhasma-sāt kurute tathā
                                    (Bhagavadgita IV.37)
Terjemahan :
Bagaikan api menyala, wahai Arjuna
Yang membakar kayu api menjadi abu
Demikian pula api ilmu pengetahuan membakar, segala karma menjadi abu.
Upacara Agnihotra disebut memiliki fungsi sebagai penerangan selain karena api sebagai salah satu sumber cahaya, juga karena pada prosesi upacara Agnihotra terdapat symbol pembebasan diri dari kebodohan (Awidya). Kebodohan/Awidya merupakan kegelapan yang menyeliputi diri manusia sehingga manusia merasakan penderitaan di dunia/alam sekala ini. Dengan melenyapkan kebodohan ini, maka manusia akan membuka kesadarannya.

4.3.5 Agnihotra sebagai sumber energy
            Energy adalah kemampuan untuk melakukan kerja atau usaha (Wibowo,2007:24). Tanpa kita sadari, sesungguhnya kita hidup dalam lautan energy, semua disekitar manusia adalah energy. Manusia menggunakan energy ketika berjalan, menendang bola, mengangkat barang, dan lain sebagainya. Bahkan ketika tudur pun manusia menggunakan energy. Energy merupakan salah satu factor pendukung kehidupan manusia.
            Energy ini tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan (Hukum Kekekalan Energi). Namun energy dapat berubah. Pada upacara Agnihotra, partikel-partikel hasil pembakaran dari persembahan (kayu dan ghee) akan bersatu dengan energy dan menutupi lapisan ozon dan melindungi atmosfer, sehingga hal-hal negative seperti global warming atau pemanasan global akibat menipisnya lapisan ozon dapat dicegah.
Dalam Yajurveda III.3 disebutkan sebagai berikut :
            Tamtvâ samibhir angiro ghrtena vardayamase/
Brihacchocâ yavisthya svâha idam agnaye angirase idam na mama//
Terjemahan :
Oh Tuhan, kami menyalakan api suci dengan kayu dan ghee. Semoga api ini masuk ke dalam partikel-partikel terhalus dan memecahnya menjadi komponen-komponen kecil, partikel-partikel halus bersatu dengan energy yang melenyapkan akibat negative atmosfer.
Oh Tuhan, semoga tindakan kami ini memberi kesehatan, kekayaan, dan kebahagiaan kepada semua mahluk hidup. Semua ini bukan untuk saya.
                                                                        (Aripta,2007:43)


Sumber: Berbagai Sumber